A. Masa Kerajaan
Sumber-sumber
epigrafis yang ditemukan di Indonesia banyak yang memberikan informasi
tentang sistem pemerintahan di Indonesia. Perkembangan pemerintahan pada
masa kerjaan diketahui dimulai sejak zaman Mataram Kuno (760-929),
Medang (937-1080), Kediri (1080-1222), Singasari (1222-1292), Majapahit
(1294-1527), Demak-Pajang (1575), dan Mataram Islam (1575-1755).
Menurut
Prasasti Canggal (732 M), Kerajaan Mataram Kuno di bawah pimpinan Raja
Sanjaya, struktur pemerintahan bersifat konsentris. Secara hierarkis
pemerintahannya terdiri dari pemerintah pusat (kerajaan), pemerintah
daerah (watek), dan pemerintahan desa (wanua). Pada pertengahan abad X
oleh Pu Shendok, salah seorang keturunan Dinasti Sanjaya terakhir di
Jawa Tengah, pusat kerajaan dipindahkan ke Jawa Timur. Disamping itu, ia
juga melakukan konsolidasi kekuasaan dan pemerintahannya dalam suatu
sistem dan struktur yang lebih mantap. Pu Shendok juga membangun wangsa
atau dinasti baru yang dikenal dengan Wangsa Isana.
Keturunan Wangsa
Isana berkembang di Kediri (1049-1222). Pada masa di Kediri ini muncul
perubahan dalam struktur pemerintahan dengan munculnya istilah thani,
wisaya, dan bhumi seperti yang terungkap pada prasasti Hantang (1135).
Selain itu juga muncul istilah haji atau lurah yang diduga merupakan
pejabat wilayah pada tingkat wisaya. Satuan wilayah wisaya ini
menggantikan istilah watek pada abad sebelumnya. Istilah bhumi yang
muncul dapat disejajarkan dengan istilah nagara. Namun istilah bhumi
mengacu kepada ibukota, sedangkan nagara merupakan sebutan bagi satuan
wilayah yang secara geografis maupun fisik dipimpin oleh seorang haji.
Melihat realitas diatas maka dapat disimpulkan bahwa struktur
pemerintahan pada masa kerajaan Kediri terdiri dari thani (desa),
wisaya/lurah/haji (kabupaten), dan bhumi (pusat).
Pada masa
kerajaan Singhasari (1222-1292) terjadi perkembangan baru dalam struktur
pemerintahan di Jawa Timur. Berdasarkan prasasti Mula-Manurung, 28
Desember 1255 yang dikeluarkan Raja Seminingrat, muncul institusi baru,
yaitu nagara sebagai satuan wilayah pemerintahan. Institusi baru ini
posisinya berada di atas watek/wisaya dan di bawah raja. Perubahan ini
dilakukan untuk perluasan kawasan politik, khususnya dalam politik
perdagangan.
Arca Dwarapala masa SingasariStruktur
pemerintahan lebih mengalami kemajuan pada masa Kerajaan Majapahit
(1294-1527). Pada masa ini pemerintahannya telah menerapkan orientasi
keluar dan memantapkan sistem penataan wilayah dan pemerintahan. Masa
ini muncul jabatan-jabatan seperti Pahom Nahendra (Dewan Kerajaan),
Saptaprabu (Dewan Pertimbangan), Saptaupapati (Pejabat Kehakiman), Panca
Thanda (Birokrasi), dan Darma Putera, serta Bhayangkari (pasukan
keamanan khusus).
Wilayah kerajaan Majapahit, khususnya di Jawa
dibagi menjadi sejumlah propinsi yang membawahi sejumlah penguasa lokal:
bupati, akuwu, dan demang. Para penguasa lokal ini menerima kekuasaan
dari raja. Namun ia harus melakukan kewajiban seperti menyediakan tenaga
untuk keperluan raja dan kepentingan militer jika diperlukan, membayar
pajak, dan menghadap ke ibukota atau ke istana untuk menyatakan
kesetiaan. Dalam perkembangan pemerintahan selanjutnya, setelah wilayah
Majapahit semakin luas, raja dijadikan sebagai pusat kosmis. Untuk itu
diangkatlah keluarga raja menjadi adhipati atau gubernur pada
nagara-nagara atau propinsi sebagai penghubung antara raja dengan
masyarakat desa. Dalam konteks demikian Raja Hayam Wuruk mengukuhkan
undang-undang pemerintahan dan ditetapkannya hari jadi pemerintahan
nagara setingkat provinsi di Jawa Timur dalam struktur pemerintahan
kerajaan Majapahit pada tanggal 27 Maret 1365 M.
Keputusan ini
diperkuat setelah Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah
Majapahit di bagian timur, yang dalam perkembangannya kemudian
daerah-daerah tersebut menjadi wilayah Provinsi Bang Wetan atau Jawa
Timur.
Denah lingkungan Keraton Majapahit (sumber : Prof.Dr. Slametmuljana)Tanggal
lain yang juga berhubungan dengan masalah penetapan munculnya
pemerintahan nagara atau provinsi selain prasasti Mulamanurung ialah
tanggal peluncuran Nagarakrtagama sendiri yaitu, tanggal 25 September
1365.
Dari informasi yang ditemukan secara vertikal struktur
pemerintahan Majapahit dari atas ke bawah adalah sebagai berikut: bhumi
(pusat/maharaja), rajya (nagara)
(provinsi/raja/natha/bhatara/wadhana/adhipati), watek/wiyasa (kabupaten/
tumenggung), lurah/kuwu (kademangan/demang), thani/wanua (desa,
petinggi), kabuyutan (dusun/dukuh/lingkungan/rama). Wilayah propinsi
pada Kerajaan Majapahit yang semula pada abad XIV berdasarkan
pemberitaan Negarakrtagama berjumlah dua belas, yaitu:
Berdasarkan
prasasti Suradakan, 22 Nopember 1447 provinsi di Majapahit berkembang
menjadi empat belas, yang masing-masing satuan daerah itu dipimpin oleh
seorang bangsawan keluarga raja sebagai raja muda yang bergelar Bhatara
atau gubernur. Keempat belas daerah dan natha tersebut adalah:
Keruntuhan
Majapahit pada awal abad XVI memunculkan kerajaan baru yaitu Demak
(1478-1546) dan Pajang (1546-1582). Kerajaan Demak yang dipimpin Sultan
Trenggono berhasil menaklukkan wilayah-wilayah sampai ujung timur Jawa.
Namun beliau tewas dalam usaha penaklukan tersebut. Kemelut politik yang
terjadi setelah Sultan Trenggono wafat memunculkan tokoh baru yaitu
Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya yang memindahkan pusat kerajaan ke
daerah pedalaman di Pajang. Pada masa Pajang ini Jawa terbagi menjadi 5
provinsi yaitu (1) Pajang sebagai inti kerajaan, (2) Pesisir Utara Jawa
Tengah dan sebagian Pesisir Utara Jawa Timur, (3) Pesisir Barat dari
Cirebon sampai Banten, dan (4) Mancanagara, dan (5) Bang Wetan. Namun
sumber lain (de Graaf) ada yang menyebutkan bahwa pada masa Pajang
terbagi menjadi delapan wilayah provinsi yang merdeka dan terpisah,
yaitu Banten, Jayakarta, Cirebon, Prawata, Kalinyamat (Japara), Pajang,
Kedu, dan Madura.
Pada masa Kerajaan Mataram (1575-1755) di bawah
Sultan Agung, kerajaan-kerajaan di Jawa Timur berhasil ditaklukkan.
Mulai dari Madiun (1590) hingga Blambangan (1635) wilayah Jawa Timur
praktis dapat disatukan di bawah panji-panji Mataram. Untuk
mempertahankan integrasi wilayahnya dilakukan ikatan perkawinan dengan
keluarga kerajaan, misalnya Adipati Surabaya dengan adik Sultan, Ratu
Pandansari. Bahkan Sultan Agung melakukan perhelatan besar pada tahun
1936 dan 1941. Perhelatan atau Sidang Raya Kerajaan ini diselenggarakan
bertepatan dengan upacara Gerebeg Maulud tanggal 14 Agustus 1636. Agenda
sidang tersebut adalah :
1. Peresmian pemakaian kalender hijriah untuk menggantikan kalender Saka.
2. Dilakukan registrasi wilayah kerajaan dan penetapan struktur pemerintahan.
3. Penetapan wilayah administrasi pemerintahan di mana wilayah
propinsi seperti Bang Wetan yang terdiri dari Mancanagara Wetan dan
Pesisir Wetan dipimpin oleh wedhana bupati atau adhipati yang statusnya
dapat dibandingkan dengan Gubernur karena posisinya berada di atas
tingkatan bupati.
Dalam perkembangannya, Kerajaan Mataram
banyak melakukan perubahan-perubahan pada sistem pemerintahannya.
Perubahan ini tidak luput dari situasi politik yang terjadi pada saat
itu. Dari sudut konsentrisme yang diterapkan dalam sistem
ketatanegaraan, wilayah Mataram dibedakan atas empat golongan, yaitu (1)
Kuthagara atau Kutanegara (negara) yaitu keraton sebagai titik pusat
dan tempat tinggal raja. (2) Bhumi Narawita (tempat para hamba raja),
yaitu tempat tinggal para bangsawan kerajaan. (3) Nagaragung, yaitu
daerah di luar ibu kota di mana di daerah ini terdapat tanah jabatan
dari para bangsawan yang bertempat tinggal di Bhumi Narawita. (4)
Mancanagara, yaitu daerah di luar nagaragung yang meliputi mancanagara
wetan (mulai Ponorogo ke timur), mancanagara kulon (mulai Purworejo ke
barat), pesisiran pantai utara yang terdiri atas pesisiran kulon (Demak
ke barat) dan pesisiran wetan (Demak ke Timur).
B. Masa VOC Pelabuhan Perak Surabaya sudah ramai sejak masa VOC (illustrasi HJ van Heisen, KITLV)Kedatangan
VOC ke Pulau Jawa membawa pengaruh terhadap keruntuhan Kerajaan
Mataram. Dari serangkaian perjanjian yang terjadi antara Raja Mataram
dengan VOC, kemelut kekuasaan dalam keluarga kerajaan dan ketidaksetiaan
di bawahnya, menjadikan Kerajaan Mataram berada dalam kondisi yang
semakin sulit. Satu persatu wilayah kekuasaannya berhasil dikuasasi dan
berada di bawah pengaruh VOC. Misalnyai pada tahun 1743 seluruh Pesisir
Utara Jawa, bahkan wilayah Pesisir Wetan yang berhasil dikuasai dibentuk
propinsi Java Oosthoek (Propinsi Pojok Timur Jawa). Bahkan sampai
bergantinya kekuasaan VOC menjadi Hindia Belanda, daerah Pesisir Wetan
disebut dengan Java Noord-Oostkost yang berpusat di Surabaya
(1743-1808), sedang Pesisir Utara Jawa berpusat di Semarang.
Pada
masa VOC untuk mengamati daerah pantai utara sampai timur Jawa
ditugaskan kepada gubernur yang berpusat di Semarang. Di daerah yang
dikuasainya, VOC juga menempatkan residen untuk wilayah karesidenan dan
bupati untuk wilayah kabupaten.
C. Masa Hindia Belanda (1800-1942)Setelah
keruntuhan VOC yang resmi dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799,
kekuasaan diambil alih oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pada
masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811),
Pulau Jawa terbagi menjadi sembilan propinsi yang dinamakan prefect.
Bahkan sistem pemerintahan daerah yang dibangun pada masa VOC dirombak.
Kekuasaan gubernur pantai utara-timur Jawa dibagi dalam sembilan
prefektur yang dipimpin oleh seorang prefect. Kedudukan prefect sebagai
residen dipegang oleh orang Belanda dan dibantu oleh asisten residen.
Jawa sendiri dibagi dalam 30 kabupaten. Hak turun temurun bupati
dihapuskan, penentuan hak atas tanah, hak mendapatkan pelayanan, tenaga
kerja, dan hak pemungutan hasil pertanian dikurangi. Sebagai
kompensasinya para bupati diberi kedudukan sebagai pegawai pemerintah
yang digaji.
Pada masa Daendels, Jawa jatuh ke tangan Pemerintah
Inggris. Thomas Stanford Rafles (1811-1816) diangkat sebagai Letnan
Gubernur untuk mewakili Raja Muda Inggris, Lord Minto yang berkedudukan
di India. Pada masa pemerintahan Raffles, Jawa yang meliputi seluruh
kawasan Pesisir Utara Jawa dibagi menjadi 16 (enam belas) provinsi ;
Banten, Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kedu,
Jipang-Grobogan, Jepara, Rembang, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Besuki,
Banyuwangi, dan Madura. Adapun untuk daerah pedalaman yang terdiri atas
wilayah Vorstenlanden Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta yang
meliputi Mancanagara Wetan dan Mancanagara Kilen.
Selanjutnya
Jawa dibagi atas 17 wilayah karesidenan yang masing-masing wilayahnya
dipimpin oleh seorang residen berkebangsaan Eropa. Setiap karesidenan
dibagi atas kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati. Dalam
menjalankan pemerintahan sehari-hari Bupati dibantu oleh seorang patih
yang bertugas mengawasi kepala teritorial yang lebih rendah seperti
wedana dan asisten wedana. Dalam sistem kepegawaian pemerintahan pribumi
terdapat mantri (orang yang melaksanakan tugas khusus), penghulu (orang
yang bertugas dalam urusan keagamaan), dan jaksa (orang yang bertugas
dalam urusan hukum dan pajak).
Pada tahun 1854 pemerintah Hindia
Belanda mengeluarkan Regeerings Reglement. Menurut salah satu pasalnya
disebutkan bahwa bupati dipilih oleh Gubernur Jenderal dari kalangan
pribumi. Hal ini semakin memperkuat status dan kedudukan bupati.
Kemudian dengan pemberlakuan Reglement op het Beleid der Regering van
Nederlandsch-Indie Jawa dibagi dalam daerah-daerah administratif yang
disebut gewest. Setiap gewest mencakup beberapa afdeeling (setingkat
dengan kabupaten dan dipimpin oleh seorang asisten residen), district
(setingkat dengan kawedanan dan dipimpin oleh seorang controleur), dan
onderdistrict (setingkat dengan kecamatan dan dipimpin oleh aspirant
controleur).
Pada awal abad XX, setelah banyak terjadi kritik
terhadap pemerintahan Belanda di Hindia Belanda oleh tokoh-tokoh politik
di Negeri Belanda, maka pada tahun 1903 dikeluarkan Wet Houdende
Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie (undang-undang
tentang Desentralisasi di Hindia Belanda) yang bertujuan untuk
pembentukan daerah-daerah otonom di seluruh wilayah Hindia Belanda. Pada
prinsipnya undang-undang tersebut membuka kemungkinan pembentukan
daerah otonomi dengan nama Locale Ressorten untuk menyelesaikan
tugas-tugas lokal melalui dewan-dewan. Dengan demikian terbentuk
Gewestelijke Raden (untuk daerah gewest/karesidenan), Plaatselijke Raden
(untuk bagian dari daerah gewest/karesidenan, dan Gemeente Raden (untuk
bagian daerah gewest yang berbentuk kota/kotapraja).
W.Ch. HandermanUndang-undang
desentralisasi ternyata dirasa kurang memuaskan karena hanya sedikit
uang yang diserahkan ke daerah. Akhirnya pada tahun 1922 dikeluarkanlah
peraturan baru yang dikenal dengan nama Wet op de Bestuurhervorming.
Undang-undang ini menjadi dasar pembentukan provinsi, dewan provinsi
(provinciaal raad), pengangkatan gubernur, dan pembentukan college van
gedeputeerden (Dewan Pelaksana Pemerintahan Harian). Gubernur diangkat
oleh gubernur jenderal, dan gubernur juga berkedudukan sebagai ketua
provinciale raad dan college van gedeputeerden.
Sebagai tindak lanjut
dari bestuurhervormingswet dibentuk Gewest Oost Java. Peraturan ini
berlaku sejak 1 Juli 1928 dan berkedudukan di Surabaya. Diangkat sebagai
gubernur van het Gewest Oost Java adalah W. Ch. Hardeman. Pengangkatan
ini berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6
Juni 1928 No. 32. Keputusan ini berlaku sejak 1 Juli 1928.
Pembentukan
gewest dirasa kurang memenuhi harapan, selanjutnya Pemerintah Hindia
Belanda membentuk provinsi-provinsi di wilayah gewest. Pembentukan
provinsi Jawa Timur diundangkan dalam Instelling van de Provincie
Oost-Java. Undang-undang ini terdiri atas 25 pasal. Dalam pasal 25
dinyatakan bahwa peraturan ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1929.
Dalam pasal 1 dinyatakan bahwa wilayah Jawa Timur adalah sebuah provinsi
dan dalam pasal 2 dinyatakan bahwa kedudukan pemerintahan Jawa Timur di
Surabaya. Tempat dan kekuasaannya meliputi: (1) Surabaya, Mojokerto,
Gresik, dan Bojonegoro; (2) Madiun dan Ponorogo; (3) Kediri dan Blitar;
(4) Pasuruan, Malang, dan Probolinggo; (5) Bondowoso dan Jember; dan (6)
Madura Barat dan Madura Timur.
Sebagai gubernur pertama diangkat
W. Ch. Hardeman atas dasar Gouvernementbesluit tanggal 17 Desember 1928
No. 1x. Keputusan ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929.
D. Masa Pendudukan JepangSetelah
tentara Jepang merebut dan menguasai Hindia Belanda dibentuk
pemerintahan militer yang bersifat sementara. Pemerintahan militer
Jepang membagi wilayah bekas Hindia Belanda menjadi tiga wilayah, yaitu
(1) Angkatan darat (Tentara Keduapuluhlima) untuk Sumatera dan
berkedudukan di Bukit Tinggi; (2) Angkatan Darat (Tentara keenambelas)
untuk Jawa dan Madura, berkedudukan di Jakarta; (3) Angkatan Laut
(Armada Selatan Kedua) untuk daerah yang meliputi Sulawesi, kalimantan,
dan Maluku dan berkedudukan di Makasar.
Pada bulan Agustus 1942,
pemerintahan sementara ini berakhir dengan dikeluarkannya Undang-undang
No. 27 tentang Aturan Pemerintah Daerah dan Undang-undang No. 28 tentang
Aturan Pemerintahan Syu dan Tokubetsyu Syi. Undang-undang ini merupakan
pelaksanaan reorganisasi struktur pemerintahan. Menurut Undang-undang
No. 27 seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Surakarta dan Yogyakarta,
dibagi atas Syu (Karesidenan), Syi (sama dengan daerah
stadsgemeente/kotapraja), ken (kabupaten), gun (kawedanaan/district),
son (kecamatan/onderdistrict), dan ku (desa/kelurahan).
Tentara Jepang memperingati UlangTahun Kaisar Hirohito di Surabaya, 1944 (sumber :KITLV)Dalam
struktur pemerintahan pendudukan Jepang ditetapkan pemerintahan daerah
tertinggi adalah Syu. Pulau Jawa terbagi atas 17 Syu, yaitu Banten,
Batavia, Bogor, Priangan, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Banyumas,
Pati,Kedu, Surabaya, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Besuki, dan
Madura. Berdasarkan pembagian tersebut, di Jawa Timur terdapat tujuh
karesidenan, yaitu Surabaya, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Besuki,
dan Madura. Hal ini tidak beda dengan pembagian karesidenan pada masa
Hindia Belanda. Dengan demikian pembagian wilayah berdasarkan propinsi
dihapuskan. Hal yang cukup menarik di sini adalah walaupun wilayah
daerah kekuasaan Syu seluas daerah residensi pada masa Hindia Belanda,
namun kekuasaannya sama dengan gubernur. Syucokan selaku penguasa Syu
menjalankan pemerintahan umum, mengurus kepolisian, memerintah dan
mengawasi Kenco, Syico, Keisatushoco (Kepala Kantor Besar Propinsi)
dalam wilayah Syu. Selanjutnya berdasarkan Osamu Seirei No. 28 tahun
1942, dalam syu dibentuk suatu dewan yang dinamakan Cokanto atau Majelis
Pembesar Syu. Dewan ini bukan DPRD melainkan dewan biasa yang bertugas
memberi pertimbangan kepada Syucokan apabila diperlukan.
Meskipun
provinsi-provinsi dan gubernur-gubernur dihapuskan, karesidenan (syu),
kawedanaan (gun), dan kecamatan (son) tetap berada di bawah Departemen
Urusan Dalam Negeri (Naimubu) di Jakarta yang pada gilirannya
bertanggungjawab kepada Komando Tentara Keenambelas yang berkuasa.
E. Masa KemerdekaanSetelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidang, tanggal 19 Agustus
1945 memutuskan: (1) Membagi wilayah RI ke dalam delapan provinsi, yaitu
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi,
Maluku, dan Sunda Kecil. Masing-masing provinsi dikuasai oleh seorang
gubernur; (2) Setiap provinsi dibagi menjadi sejumlah karesidenan yang
dikepalai oleh seorang residen; (3) Dalam menjalankan tugasnya gubernur
dan residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah; (4) Kedudukan
pemerintah kota diteruskan seperti sekarang. (Berita Republik Indonesia,
II/7, 15 Februari 1946, hlm. 48).
Berdasarkan Pengumuman
Pemerintah yang dikeluarkan oleh Badan Penerangan tanggal 19 Agustus
1945 tentang pengangkatan menteri-menteri dan kepala daerah, R.M.T.A.
Soerjo diangkat sebagai Gubernur Propinsi Jawa Timur. Namun demikian
R.M.T.A. Soerjo baru menjalankan tugas pemerintahannya dan datang ke
Surabaya tanggal 12 Oktober 1945. Mengingat pada masa yang sama ia juga
menjabat sebagai residen Bojonegoro. Adapun jabatan residen di Jawa
Timur yang diangkat selengkapnya adalah: (1) R.M.T.A Koesnindar
(Madiun), (2) R. Abd. Rahman Pratalikrama (Kediri), (3) R.M.T.A. Soerjo
(Bojonegoro), (4) R. Soedirman (Surabaya), (5) Mr. R.S. Boediarto
Martoatmocjo (Besuki), (6) R.A.A. Tjakraningrat (Madura), (7) Mr. R.P.
Singgih (Malang). Di samping itu juga diangkat bupati yang diperbantukan
pada residen, yaitu R. Setiono diperbantukan pada residen Surabaya, dan
R.I. Moehamad Soeljoadikoesoemo pada residen Malang.
Keputusan
lain yang juga ditetapkan PPKI pada saat itu adalah penggunaan istilah
yang seragam untuk daerah desentralisasi, yaitu kota untuk menggantikan
gemeente/stadsgemeente, dan istilah walikota untuk menggantikan
burgemeester.
Kenginan Belanda yang mencoba berkuasa kembali di
Indonesia diperkuat dengan membentuk pemerintahan Belanda di daerah yang
berada di luar kekuasaan RI. Untuk itu diangkat seorang pembesar
Belanda dengan pangkat Regerings Commissaris voor Bestuursaangegenheden
(Recomba) atau Komisaris Pemerintah untuk Urusan Pemerintahan yang
bertanggungjawab kepada Luitenant-Gouverneur Generaal.
Di tengah
konflik dengan Belanda yang mencoba menduduki kembali Republik
Indonesia, Pemerintah RI mengeluarkan Undang-undang No. 22 tahun 1948
tentang Aturan-aturan Pokok Pemerintahan di daerah yang berhak mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri. Namun undang-undang ini tidak
dapat dijalankan sepenuhnya akibat konflik politik di dalam tubuh RI
sendiri dan dalam perjuangan melawan Belanda.
Insiden Penyobekan Bendera di Surabaya, 1945 Setelah
terjadi pengakuan kedaulatan terhadap RI oleh Belanda melalui
Konferensi Meja Bundar tahun 1949, mengakui tiga persetujuan pokok,
yaitu (1) Dibentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS); (2)
Penyerahan dari Pemerintah Belanda di Indonesia kepada pemerintah RIS;
(3) Pembentukan Uni antara RIS dan Kerajaan Belanda. Sebagai tindak
lanjut dari kesepakatan tersebut, maka sejak tanggal 27 Desember 1949
berdirilah RIS yang terdiri dari tujuh negara bagian, yaitu: Negara
Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur,
Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, dan Negara Jawa
Timur. Sementara kesembilan satuan Kenegaraan meliputi Dayak Besar,
Kalimantan Tenggara, Bangka, Belitung, Riau, Banjar, Kalimantan Timur,
Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah.
Dalam perkembangannya
keinginan rakyat Jawa Timur agar Negara Jawa Timur dan Negara Madura
dibubarkan dan dikembalikan kepada RI besar sekali. Desakan itu
diwujudkan dalam banyak bentuk mosi dan resolusi agar negara bagian itu
dibubarkan. Berdasarkan desakan rakyat, Pemerintah Negara Jawa Timur
menyerahkan penyelenggaraan tugas pemerintahannya kepada Pemerintah RIS.
Dengan Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1950, RIS menetapkan bahwa
tugas itu diselenggarakan oleh Komisaris Pemerintah yang diangkat oleh
Presiden RIS. Kemudian untuk memungkinkan pembubaran negara bagian, maka
ditetapkan Undang-undang Darurat No. 11 tahun 1950 tentang Tata cara
perubahan susunan kenegaraan dari wilayah RIS.
Berdasarkan
undang-undang ini maka negara bagian yang menginginkan bubar dapat
dibubarkan oleh Presiden RIS dan wilayahnya digabungkan dengan Negara
RI. Setelah berkonsultasi dengan Pemerintah RI dan RIS, akhirnya
berdasarkan Keputusan Presiden No. 109 tahun 1950 Negara Jawa Timur
dibubarkan dan Keputusan Presiden No. 110 tahun 1950 Negara Madura
dibubarkan.
Sebagai tindak lanjut dari keputusan tersebut,
melalui Undang-undang No. 2 tahun 1950, tanggal 3 Maret 1950 dan
diundangkan tanggal 4 Maret 1950 dibentuk Provinsi Jawa Timur.
Undang-undang ini diberlakukan melalui Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun
1950 tanggal 15 Agustus 1950. Dalam undang-undang ini cakupan wilayah
Provinsi Jawa Timur tidak berubah, yaitu meliputi tujuh karesidenan.
Akan tetapi pemerintah daerah karesidenan dihapus dan DPRD karesidenan
dibubarkan. Sementara pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur tetap
berkedudukan di Surabaya.
sumber:
arsipjatim.go.id